Alkisah di sebuah negeri yang bernama Astina terdengar kabar yang gegap gempita, karena berbondong-bondongnya para pejabat elit negeri itu untuk mendaftarkan diri agar dijebloskan ke penjara. Mereka pun seperti berlomba menarik simpati bak selebriti namun tetap tak mengakui sepak terjang sebagai tikus laci, mungkin kejantananya sudah dikebiri.
Fenomena korupsi ini sebetulnya sudah lama menjangkiti mental para pejabat negeri itu, namun secara
massive beritanya santer terdengar justru setelah reformasi. Walaupun begitu penulis sendiri kurang setuju jika perbuatan bejat ini disebut budaya, karena budaya menurut Mitchel, merupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar , pengetahuan, moral hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh individu - individu dan masyarakat, yang menentukan bagaimana seseorang bertindak, berperasaan, dan memandang dirinya serta orang lain. Nah para koruptor ini khan tidak bertindak berdasarkan perasaan, apalagi memandang dirinya sebagai pejabat dan harus selalu menjaga integritas moral serta perilaku kepada masyarakat.
Kalau kita renungkan apa betul korupsi itu diperlukan oleh pejabat negeri Astina itu, atau jangan-jangan protes-protes anti korupsi itu karena mereka tidak kebagian jatah saja, benarkah? Togog pun pernah bercerita bahwa sebetulnya sejak Togog diperkenalkan kegunaan uang di negeri itu, maka bersamaan dengan itu Togog pun juga mendengar desas-desus suap atau pungli (bentuk paksa dari suap) dalam melicinkan segala urusan terutama yang berkaitan dengan urusan pemerintah di negeri Astina tersebut.
Kenapa harus korupsi?
Kira-kira jawaban hati para koruptor pastinya bilang “kenapa nggak?, harus bilang wooouww gitu?”., karena mereka korupsi dengan alasan:
Warisan ketrampilan dari leluhurnya
Kenapa bisa jadi begitu, karena mereka masuk pegawai negeri itu dengan jalan KKN dan “wani piro”, wajarlah kalau mereka sangat bermental koruptor.
Anggapan gaji kecil tidak mengapa yang penting “sabetannya”
Para koruptor ini sebetulnya sosok pribadi yang berminat terjun ke dunia bisnis, namun apa daya mental pemalasnya tidak mendukung. Mental takut rugi, yang penting untung dan balik modal. Meskipun gaji juga sudah dinaikkan, tetapi karena mental bisnis sesatnya sudah terlanjur dihayati, mereka pun lantas kecanduan.
Slogan “kalau bisa lambat kenapa dipercepat, kalau bisa susah kenapa dipermudah”
Mereka betul-betul memahami slogan ini akan membawa kesuksesan bagi diri dan keluarganya, karena dibalik slogan tersebut mengalirlah pundi-pundi emas berliannya. Kita pun dengar ada berbagai proyek pemerintah di negeri Astina itu yang menjadi proyek-proyek pribadi para pejabatnya, yach termasuk kasus rumah susun itu.
Pimpinan selalu memberi contoh korupsi yang baik
Pemimpin yang sudah terlanjur korup selalu menargetkan kepada anakbuahnya sejumlah upeti-upeti yang harus dialirkan setiap bulanya ke meja pimpinan. Bak seorang bankir ternama, mereka pun giat mencari calon untuk dikorbankan menjadi ATM berjalan, yang bisa digesek kapan saja terutama menjelang lebaran.
Alasan daya beli yang semakin berkurang, sedangkan kenaikan gaji tidak signifikan
Negeri Astina adalah sebuah negeri yang menyukai inflansi, karena hanya dengan inilah alasan paling manjur mereka korupsi atau minta kenaikan gaji. Pemerintah negeri itu tidak pernah menggulirkan gerakan peningkatan nilai tukar mata uangnya agar daya beli masyarakat naik, tetapi justru memberikan solusi instan dengan menaikkan UMR yang kemudian disusul kenaikan BBM, kenaikan bahan pokok, kenaikan transportasi dll …terus rakyat jadi dapat apa?
Kita tidak perlu kaget dengan kondisi negeri Astina tersebut, toh kata orang tua dulu bilang “
sing becik bakal ketitik, sing olo bakal ketoro”, karena penulis masih yakin di negeri Astina walupun sangat berbeda dengan Amarta, tetapi masih banyak pejabat Kurawa yang baik tidak sekedar mengaku baik. Kita tunggu saja munculnya pendekar kesatria keadilan dan kemakmuran, ia…. tetapi terus kapan mbah……????